Selasa, 26 Agustus 2008

Jurnalisme Dasar - Menghindari Konflik Kepentingan

Jurnalisme Dasar - Menghindari Konflik Kepentingan



[Artikel ini hanya untuk mereka yang sedang belajar tentang
dasar-dasar jurnalisme. Mereka yang sudah mahir bisa mengabaikannya. ]

Salah satu prinsip dasar dalam jurnalisme adalah menghindari "conflict
of interest" ketika seorang wartawan sedang meliput sebuah kasus.
Seorang wartawan juga sebaiknya menghindari potensi "conflict of
interest" di masa mendatang dalam kaitan dengan profesinya.

Contoh paling sederhana untuk menerapkan prinsip ini adalah
menghindari meliput berita menyangkut saudara atau teman dekat kita
yang sedang terlibat kasus. Kita bisa menyerahkan liputan itu kepada
teman kita lain, yang bebas dari kemungkinan bias atau kecenderungan
menjadi subyektif.

Menghindari "conflict of interest" seringkali penting tak hanya bagi
si wartawan, tapi juga bagi obyek berita. Seorang pejabat yang sedang
dihadapkan pada sebuah kasus, misalnya, seringkali lebih terbela oleh
wartawan yang tanpa-bias yang memberitakan apa adanya ketimbang ketika
kasusnya diliput oleh wartawan yang dikenal memiliki hubungan khusus
dengannya.

Cara lain adalah menghindari hubungan yang terlalu dekat dengan sumber
berita tertentu. "Terlalu dekat" memiliki pengertian yang relatif.
Tentu saja, seorang wartawan tidak bisa menjadi makhluk asosial, yang
tidak bergaul dan tidak punya teman. Pekerjaan kewartawanan seringkali
terbantu jika kita memiliki banyak teman baik, termasuk jika kita
dekat dengan pejabat anu dan jenderal ini. Namun, kita harus waspada
bahwa kedekatan semacam itu kadang memiliki harga yang harus dibayar:
independensi kita.

Memiliki teman dekat pejabat atau sumber berita terkenal adalah hal
yang wajar. Tapi, terlalu bangga memiliki teman seperti itu kadang
mengindikasikan hubungan khusus yang bisa menimbulkan "conflict of
interest".

Prinsip menghindari "conflict of interest" pula yang melandasi salah
satu elemen kode etik jurnalistik yang terkenal: wartawan seharusnya
menolak menerima amplop, pemberian dan fasilitas khusus.

Mudah untuk mengenali apakah pemberian atau fasilitas itu bersifat
khusus, antara lain dengan cara bertanya: apakah pemberian atau
fasilitas itu akan diberikan kepada kita jika kita bukan wartawan?
Jika jawabannya tidak, artinya pemberian itu berkatian dengan profesi
kita sebagai wartawan, maka itu masuk kategori pemberian dan fasilitas
khusus.

Tapi, apakah kita harus menolak semua bentuk pemberian dari sumber
berita? Pada prinsipnya harus menolak. Itu aturan umumnya. Tapi,
mungkin ada pengecualian dan ada nuansa yang harus dipertimbangkan.

Kode Etik Wartawan Indonesia tidak memberi batas jelas tentang besarnya pemberian yang harus ditolak. Namun, banyak yang sepakat bahwa pemberian dalam bentuk uang tunai harus ditolak. Lalu, bagaimana dengan pemberian dalam bentuk barang atau fasilitas lain?

Beberapa perusahaan pers di Indonesia mematok nilai tertentu:
wartawannya hanya diperbolehkan menerima pemberian barang yang
nilainya kurang dari Rp 200.000 misalnya. Patokan ini bisa berubah
dari waktu ke waktu karena mahal atau murah bisa dipengaruhi oleh inflasi.

Bagaimana dengan pemberian dalam bentuk makan dan minum gratis di
restoran atau akomodasi hotel dan perjalanan?

Sejumlah koran di Amerika dan Eropa tidak membolehkan wartawannya
menerima makan siang gratis atau biaya akomodasi perjalanan dan hotel.
Jika mereka menerima undangan meliput, koran bersangkutanlah yang
membiayai hotel, tiket, biaya makan dan uang saku si wartawan.

Media di Indonesia umumnya tidak melarang hal ini, suatu hal yang bisa
diperdebatkan sepanjang waktu, tapi inti masalahnya menyangkut prinsip
"conflict of interest" tadi.

Kode etik mengajarkan agar wartawan/media menghindari "conflict of
interest" sebisa mungkin. Pelanggaran terhadap prinsip ini tidak bisa
dijustifikasi oleh pernyataan seperti: "bukankah saya tetap bisa
menulis independen meski menerima pemberian atau fasilitas khusus?"

Anda tak bisa menghilangkan isu "conflict of interest" dengan menulis
independen atau memperlihatkan bahwa Anda bisa mengkritik si pemberi.
"Conflict of interest" tetap "conflict of interest", suatu hal yang
harus dihindari sebisa mungkin.

Jika justifikasi itu sedikit diperluas maka kita akan mengikuti logika
yang sudah pasti melanggar etika: "asal kita bisa menulis independen
maka kita boleh menerima uang dan pemberian sebesar apapun". Logika
yang keliru.

Prinsip ini juga berkaitan dengan kredibilitas berita. Kita boleh saja
berbusa-busa mengatakan bahwa kita independen dalam menulis. Tapi
publik tetap akan meragukan independensi kita jika mereka tahu kita
punya hubungan khusus atau menerima pemberian dari sumber berita.

Kata kunci dalam pernyataan di atas adalah "jika mereka tahu". Dan ini
terkait dengan konsep transparansi serta keterbukaan (full disclosure)
dalam jurnalisme. Seorang wartawan diwajibkan bersikap transparan dan
jujur kepada publik.

Jika seorang wartawan menerima amplop atau pemberian dari sumber
berita, beranikah dia menulis hal itu dalam berita yang ditulisnya?
Jika wartawan tidak berani, maka hendaknya dia menghindari sebisa
mungkin setiap pemberian.

"Conflict of interest" tidak hanya menyangkut pemberian, tapi juga
hubungan khusus seperti sudah disebut di atas. Ada kalanya wartawan
tidak sepenuhnya bisa menghindari "conflict of interest", misalnya
wartawan yang menulis analisis saham di bursa tapi dia memiliki saham
perusahaan tertentu. Dalam kaitan ini, sebaiknya wartawan menulis full
disclosure di bawah tulisannya: "penulis memiliki saham XYZ".

Media di Amerika atau Eropa juga kadang tak bisa menghindar dari
menulis hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Namun, umumnya mereka
cukup jujur mencantumkan full disclosure. Majalah Time, misalnya,
ketika menulis tentang perusahaan America Online akan membubuhkan
penjelasan langsung seperti ini: "America Online adalah sister company
Time dalam perusahaan induk bernama Time-Warner" .

Dengan cara ini, pembaca akan waspada bahwa ada potensi subyektifitas
dalam berita tentang America Online itu. Time secara jujur mengakui
kemungkinan adanya "conflict of interest", bahkan jika mereka
benar-benar menulisnya secara obyektif dan berimbang.

Jika Anda tak berani mencantumkan "penulis menerima uang dan fasilitas
dari sumber berita", sudah semestinya Anda menolak uang dan pemberian itu.

"Conflict of interest" harus dihindari sebisa mungkin. Bukan dicari
pembenarannya.

Jika seorang wartawan tak bisa memegang prinsip ini maka sebenarnya
dia kehilangan otoritas moral untuk menulis tentang korupsi para
pejabat, anggota DPR, penguasaha swasta, lembaga swadaya.

Cara terakhir untuk menghindari "conflict of interest" dalam kaitan
dengan pemberian uang, barang dan fasilitas adalah memiliki manajemen
keuangan pribadi yang bagus. Keinginan untuk memiliki independensi
profesional terkait dengan cara kita mengelola keuangan pribadi,
sehingga kita tetap bisa menikmati hidup tanpa menerima pemberian.

Kemiskinan dan gaji kecil tidak bisa menjadi dalih untuk menikmati dan
membenarkan" conflict of interest", atau memandang enteng pemberian dan
fasilitas.** *

Tidak ada komentar:

puteriku

puteriku
Meidin Nazma Luthfiny

------tentang saya-------------

Foto saya
Saya adalah anak pertama dari tiga orang bersaudara,yakni Devie Indriyanti dan Galang Syifa Rachmadi. Orang tua saya berasal dari Jawa Barat tepatnya Sumedang. Ayah Saya bernama Chasli Sutisna dan Bunda saya Siti Nurjamilah. Sedangkan Istri tercinta bernama Revieta.

Albert Einstein

Albert Einstein
Albert Einstein (14 Maret 1879–18 April 1955) adalah seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi. Dia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk penjelasannya tentang efek fotoelektrik dan "pengabdiannya bagi Fisika Teoretis".

-

Selamat Datang di Blog Denny Irawan

Arsip Blog