Sabtu, 14 Juni 2008

Perbaikan Jalan Rusak Butuh Rp1,7 Triliun


TANGERANG (SINDO)- Biaya perbaikan jalan rusak di Kabupaten Tangerang diperkirakan mencapai Rp1,7 triliun. Pasalnya hampir seluruh jalan di wilayah itu mengalami tingkat kerusakan dalam kategori yang berbeda-beda, mulai dari kerusakan ringan, sedang hingga berat.

Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Tangerang Dedi Sutardi mengatakan, pihaknya kesulitan meanggarkan dana yang cukup untuk membenahi seluruh jalan yang rusak. Pasalnya, jika seluruhnya ditangani bakal menelan dana yang hampir sama besarnya dengan total dana APBD tahun 2008 ini. Dari 1.200 kilometer panjang ruas jalan di Kabupaten Tangerang yang ada saat ini, Dedi mengklaim 30% diantaranya mengalami rusak. “Jalan-jlan yang rusak tingkatan kerusakannya bervariatif. Butuh dana Rp1,7 triliun jika seluruh jalan yang rusak mau diperbaiki tuntas dalam satu tahun ini,”ujarnya.

Terbatasnya kemampuan anggaran yang hanya sanggup menyediakan 10% dari total APBD setiap tahun, Pemkab Tangerang kembali melirik pinjaman dari Bank Jabar. Padahal pada 2005 lalu Pemkab Tangerang telah mengutang Rp200 miliar kepada Bank Jabar.

Sebanyak Rp125 miliar digunakan membangun jalan sepanjang 64 Km berkontsruki beton serta sejumlah jembatan, kemudian Rp75 miliar lainnya dimanfaatkan membangun sekolah rusak dan baru.

”Alternatif yang mungkin untuk menurunkan banyaknya jalan rusak dilakukan dengan kembali mengambil kredit dari Bank Jabar. Namun pinjaman itu tidak lebih dari setengah Rp1,7 triliun itu,” katanya.

Dedi mengakui, kerusakan jalan di wilayah Kabupaten Tangerang saat ini semakin parah dan terus bertambah, dengan penyebab beragam baik cuaca dan tonase kendaraan yang melintasi jalan-jalan tersebut.

Kerusakan jalan merata di jalan menghubungkan kecamatan, jalan Kabupaten bahkan jalan provinsi. Jalan-jalan tersebut berlubang dengan besaran yang bervariatif dan membahayakan pengguna jalan. Pihaknya, kata dia, kini sedang mendata ulang dan memetakan jalan rusak tersebut.

*Ibu Mengandung Parno Jalan Berlubang

Sementara itu, pantauan SINDO hampir seluruh jalan di Kabupaten Tangerang ditemukan jalan berlubang. Bahkan satu orang pengguna jalan yang ditemui SINDO mengaku takut melintasi jalan di Muncul, Kabupaten Tangerang. “Istri saya ketakutan saat saya antar ke dokter kandungan malam-malam, karena jalannya berlubang. Sebab selain banyak lubang, jalan banyak yang tidak diterangi lampu penerangan jalan,” ucap Bayu Legianto warga Pamulang, Kabupaten Tangerang yang kandungan istrinya telah berusia enam bulan.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tangerang Arif Wahyudi mengatakan, eksekutif harus berpikir ulang untuk menghutang lagi. Maksudnya, apakah dengan meminjam uang kembali benar jalan akan mulus. “Yang saya takutkan ngutang juga belum tentu jalan akan bener,” ucanya.

Arif juga menyinggung, penyebab maraknya jalan rusak di Kabupaten Tangerang karena para pejabat tidak pernah melintasi jalan di Kabupaten Tangerang sebab umumnya para pejabat tidak tinggal di Kabupaten Tangerang. “Mereka hanya terkena jalan rusak sedikit, yakni menuju ke kantor mereka, selebihnya lewat tol,” tandasnya. (denny irawan)

Pers Bebas dan Tanggung Jawab Wartawan







SELAMA ini banyak orang — terutama kaum awam — yang menduga, mengira atau menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan masyarakat.

Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi.

Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi – tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan.”

Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online – selanjutnya disebut media atau pers) sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat.

Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak).

Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.

Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka.

Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS.

Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression).

Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”

PERTAMA KALI PERS BEBAS

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun – yang mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya.

Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus memiliki tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto — gara-gara sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.”

Padahal, yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common sense, akal sehat.

Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan ala Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers dapat berposisi sebagai “anjing penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan kekuasaan secara sewenang-wenang.

Begitu penting dan idealnya posisi pers dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga kedudukannya disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan ke empat) yang dianggap sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.


Sekali lagi, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers itu sendiri, melainkan kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak. Namun, oleh karena publik tidak mungkin bisa mengakses informasi secara langsung – walaupun sebenarnya boleh, karena merupakan salah satu hak sipil – maka diperlukanlah pers.

Yakni pers yang bebas. Bukan bebas dalam arti kata “semaunya sendiri” melainkan mebas mengakses informasi, beban meliput, bebas menulis dan menyatakan pendapat – dengan catatan harus bertanggung jawab. Dengan demikian, pers tiada lain adalah “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah” atau “pembawa amanah” dari hak-hak sipil atau hak-hak demokrasi. Oleh karena mengemban tugas luhur itulah, sekali lagi, pers harus bebas tapi bertanggung jawab.

Sejak semula, jati diri dan mission pers (yang ideal) sesungguhnya ialah sebagai alat bagi kepentingan orang banyak untuk melakukan social control terhadap kekuasaan secara bebas, terbuka, jujur, bertanggung jawab, sebagai watch dog alias anjing penjaga terhadap hal-hal yang dianggap menyeleweng dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Namun, lama kelamaan (sebagian) pers menjadi alat bagi kepentingan salah satu golongan. Negara dan partai politik menjadikannya sebagai alat propaganda, konglomerat menjadikannya sebagai alat untuk melindungi mega bisnisnya, organisasi keagamaan menjadikannya sebagai alat dakwah, lembaga pendidikan menjadikannya alat untuk mendidik, kalangan intertainment menjadikannya sebagai alat untuk menghibur.

Semua itu dengan segment pasar masing-masing sesuai dengan lahan garapan masing-masing pula. Meski demikian, toh msih cukup banyak pers yang “benar-benar pers” (katakanlah pers umum) yang lazim disebut sebagai pers yang independen.


Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin.

Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.

Sayang, belakangan pers sendiri kurang memahami makna “kebebasan pers” sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan (yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu!) tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya.

Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.


Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.

Dalam kondisi seperti itu, wajar jika muncul media yang diterbitkan bukan untuk memperjuangkan idealisme (seperti halnya pers perjuangan atau pers di zaman liberal), melainkan semata-mata sebagai komoditi.

Memang, itu tak berarti bahwa pers yang diterbitkan oleh pemodal yang cukup kuat sama sekali tidak peduli pada profesionalisme dan idealisme. Justru profesionalisme dan idealisme dapat terwujud berkat dukungan pemodal yang kuat (tapi yang mengerti akan idealisme pers). Di sini sampailah kita pada persoalan media pers dewasa ini: tanpa dukungan modal besar, media pers bakal “mati muda”. Oleh karena itu diperlukan manajemen yang baik (tidak lagi cukup hanya mengandalkan idealisme!), termasuk trik-trik dalam hal sirkulasi, marketing (pemasaran) dan advertising (periklanan).

WARTAWAN YANG BAIK
Jika kita mengidam-idamkan sebuah pers yang ideal, bagaimanakah seharusnya jati diri seorang wartawan? Meskipun wartawan boleh dikata merupakan profesi terbuka, wartawan yang baik ialah yang memahami perannya sebagaimana telah kita singgung di bagian awal makalah ini, bahwa dia adalah kepanjangan tangan atau penyambung lidah publik. Oleh karena ia mendapat amanat publik sehingga mendapat kesempatan untuk mengakses informasi secara bebas (dalam iklim pers bebas) maka ia harus bertanggung jawab kepada publik, kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, common sense, akal sehat. Ia harus benar-benar profesional, sedapat mungkin independen, memiliki integritas yang tinggi – dan jangan lupa: berpihak kepada mereka yang lemah.

Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut yang memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Cuma sayang sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan inhouse training bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan yang tak mampu menulis berita yang baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan berita yang klasik: 5-W (who, what, when, where, why) dan 1-H (how).

Ia juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight news, breaking news sampai feature.

Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal quality ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news (kemampuan mengendus jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana berita yang layak dimuat, atau bahkan eksklusif.

Ia mampu melihat dengan jeli apa yang disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita). Selain itu, ia mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya melakukan wawancara yang lazim, melainkan juga mampu melakukan investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang mendalam, indeph reporting, indeph feature..

Kualitas kepribadian wartawan seperti itu berbanding terbalik dengan mereka yang lazim disebut sebagai “wartawan bodreks”, “wartawan amplop,” “wartawan gadungan”, “wartawan muntaber alias muncul tanpa berita”, WTS (wartawan tanpa surat kabar). Jenis “wartawan yang tersebut belakangan itu harus diwaspadai karena mereka bukanlah wartawan yang sebenarnya.

Mereka sering minta uang (bahkan berani memeras) nara sumber. Tapi di lain pihak, inilah repotnya, juga ada nara sumber yang memberi “amplop” kepada wartawan – karena diminta, karena ingin agar namanya jangan dicemarkan, atau karena terbiasa menyogok dalam bisnis. Seharusnya wartawan (yang profesional dan memiliki integritas) merasa tersinggung manakala disodori “amplop”.

Bagaimana menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi: laporkan kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda bersih, tidak punya aib yang merugikan publik, seharusnya tidak khawatir diancam akan dicemarkan oleh “wartawan gadungan” di yellow paper (”pers kuning”) atau pers yang sensasional.

Terakhir, jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu saja hal itu bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi, melainkan lahan bagi pakar ilmu komunisi (yang pasti bukan petugas humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai “realitas media” dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di kalangan media.
*) Bahan diskusi dalam media training di Perum Peruri, Jakarta, 1 Maret 2007, diedit kembali pada 18 Januari 2008.

Kamis, 05 Juni 2008

The Power of Shalat Hajat


The Power of Shalat Hajat (Segera Terbit)“Bagi siapa saja dari keturunan anak cucu Adam yang mempunyai hajat keperluan mendesak kepada Allah, hendaklah terlebih dahulu ia berwudhu dengan sebaik mungkin, kemudian melakukan shalat dua rakaat dan berdoa dengan diawali ucapan pujian kepada Allah, bershalawat atas Nabi saw.”


(HR Tirmizi dan Ibnu Majah)J udul : The Power of Shalat HajatPenulis : DR. Ahmad Sudiman Abbas, M.A.Ukuran : 14 x 20 cm.ISBN : 979-017-041-6Shalat hajat merupakan sarana yang diajarkan dalam Islam untuk mencapai apa yang menjadi kehendak seorang muslim. Keistimewaan shalat hajat terletak pada bentuk jawaban Allah SWT atas permohonan seorang hamba, yang menurut beberapa sumber bersifat langsung. Apa pun kehendak yang sukar dicapai, akan cepat dikabulkan melalui doa-doa yang dipanjatkan dalam shalat hajat, baik dalam hal pekerjaan, jodoh, kesembuhan dari penyakit, rezeki, kelancaran proses belajar di sekolah/universitas, maupun mencapai keinginan lain yang didambakan.


“Saya pernah mempunyai keinginan dan saya lakukan shalat hajat, kemudian saya mendapatkan keinginan itu.” ---Ibrahim bin Al-Dubaily, Ulama “Jujur saja, saya mengaku mendapatkan jodoh justru melalui shalat sunah hajat. Saya telah membuktikan sendiri keampuhan shalat hajat yang dijalankan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan akan menghasilkan nilai menakjubkan.” --- Dra. Nur Kamaliyah, Kepala Sekolah MI

Senin, 02 Juni 2008

Bandara Soekarno-Hatta Pelayanan Terjelek se-Asia



Bandara Soekarno-Hatta Pelayanan Terjelek se-Asia
TANGERANG (SINDO)-Bandara Internasional Soekarno-Hatta mendapatkan predikat bandara yang memiliki pelayanan terjelek se-Asia.

Pernyataan itu dikatakan Wakil Direktur Utama PT Angkasa Pura II Rinaldo J Aziz saat membuka penyuluhan peningkatan mutu pelayanan front liner mitra kerja dan mitra usaha, di gedung Auditorium Gedung 600 Kantor Pusat PT Angkasa Pura II, kemarin.

Rinaldo mengatakan, pernyataannya itu diambil dari salah satu situs pariwisata terbesar se-asia. Namun, dirinya tidak mengatakan nama situs tersebut. Pelayanan terjelek yang dimaksud, menyakut beberapa hal, seperti fasilitas kamar kecil dan pelayanan komponen instansi di sekitar bandara.

Tetapi anehnya, Bandara Soekarno-Hatta mendapat predikat baik didunia. “Bandara ini masuk dalam enam besar bandara yang on time performance (OTP), atau bandara tepat waktu,” ujar Rinaldo. Peringkat tersebut adalah versi situs yang menyajikan panduan perjalanan wisata berkelas dunia, yakni http://www.forbestraveller.com/.

Dalam situs tersebut dikatakan, bahwa sebanyak 86,3% penerbangan di Soekarno-Hatta selama 2006 berangkat tepat waktu. Hanya 2% keberangkatan mengalami tingkat keterlambatan parah atau sekitar 30-44 menit setelah jadwal. “Mungkin karena tidak tahan dengan WC di air port ini, jadi buru-buru naik ke pesawat yang WC-nya lebih baik,” ucapnya sambil tertawa.

Rinaldo juga menyatakan, ketika dirinya diangkat menjadi Wakil Direktur Utama PT Angkasa Pura beberapa waktu lalu. Dirinya banyak diberikan selamat sejumlah rekan-rekannya. Namun, disela memberikan selamat, dirinya mendapatkan banyak titipan pesan. Yang pertama, permasalahan porter, kedua, calo, ketiga premanisme di lokasi parkir. “Saya bahkan mendapatkan jabatan presiden WC. Mungkin selama ini bagi kita ada di bandara ini itu biasa, tetapi di dunia internasional itu luar biasa,” ucapnya.

Untuk itu, dirinya mengharapkan seluruh front liner mitra kerja dan mitra usaha yang sebenarnya berada digarda terdepan melayani para penumpang pesawat agar meingkatkan mutu pelayanan. “Bandara ini adalah etalase republik Indonesia, jadi sudah semestinya kita melayani agar marak wisatawan masuk,” katanya.

Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Firmansyah Rahim mengatakan, pada era tahun 1981 lalu. Bandara Soekarno-Hatta adalah bandara terbaik se-Asia, bahkan gerbang masuknya wisatawan kedua terbesar setelah bandara Ngurah Rai, Bali. Saat ini, kata dia, jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia semakin menurun, yakni sekitar 5,5 juta.

“Padahal Indonesia adalah Negara yang indah,” katanya. Jalur masuknya pintu gerbang wisatawan terbesar ke Indonesia, kata dia, ada tiga. Pertama Ngurah Rai, kedua Soekarno-Hatta dan ketiga Pelabuhan Batam. Jika tiga ini diperbaiki pelayanannya, tentu akan banyak menarik minat wisatawan. “Jadi tujuan penyuluhan peningkatan pelayanan ini juga terkait kunjungan wisatawan ke Indonesia,” tandasnya di depan 225 orang peserta penyuluhan front liner, yang didalamnya terdapat petugas Imigrasi, Bea dan Cukai, Karantina, Polres Bandara, Pedagang makanan-minuman serta sopir taksi.

Pantauan SINDO di terminal II F Bandara Soekarno-Hatta, tampak bandara tersebut mirip terminal bus. Sejumlah calo tiket, porter dan sopir taksi gelap bergentayangan mendekati para penumpang pesawat yang baru tiba.Bahkan tukang asongan pun ikut-ikutan menawarkan berbagai macam barang ke penumpang pesawat.(denny irawan)




puteriku

puteriku
Meidin Nazma Luthfiny

------tentang saya-------------

Foto saya
Saya adalah anak pertama dari tiga orang bersaudara,yakni Devie Indriyanti dan Galang Syifa Rachmadi. Orang tua saya berasal dari Jawa Barat tepatnya Sumedang. Ayah Saya bernama Chasli Sutisna dan Bunda saya Siti Nurjamilah. Sedangkan Istri tercinta bernama Revieta.

Albert Einstein

Albert Einstein
Albert Einstein (14 Maret 1879–18 April 1955) adalah seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi. Dia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk penjelasannya tentang efek fotoelektrik dan "pengabdiannya bagi Fisika Teoretis".

-

Selamat Datang di Blog Denny Irawan

Arsip Blog